Rabu, 28 Juli 2010

Mari Sambut Ramadhan


Mari Sambut Ramadhan!
Oleh : Anshari S Hasibuan
Dalam makna dari sebuah syair Arab terlantun rangkaian kalimat indah berikut,
Ramadhan telah tiba sebagai bulan panen bagi setiap hamba
Untuk membersihkan hati dari berbagai kerusakan dan dosa
Maka dari itu tunaikanlah hak-haknya; baik ucapan dan perbuatan
Dan carilah bekalmu untuk hari depan; ambil dan perbanyaklah
Bagi siapa yang menanam benih namun tidak menyiraminya
Niscaya akan menyesal disaat hari panen

Saudaraku, bulan yang ditunggu oleh kaum muslimin akan tiba sebentar lagi.  Lalu sudah seperti apakah persiapan kita menyambutnya? Wahai kaum muslimin, hendaknya kita sadar bahwa salah satu nikmat yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya adalah nikmat ditundanya ajal dan sampainya hamba-Nya di bulan Ramadhan. Jika diri ini menyadari akan banyaknya dosa yang sudah menumpuk, maka tentulah kita sangat berharap untuk menjumpai Ramadhan dan mendapatkan manfaat yang berlimpah di dalamnya.

Generasi emas umat ini, generasi salafush shalih, selalu mempersiapkan diri untuk menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebagian ulama salaf mengatakan:

”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadhan.” (Lathaaiful Ma’arif hal. 130)

Tindakan mereka ini merupakan perwujudan kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan, permohonan dan bentuk ketawakkalan mereka kepada Allah SWT. Tentunya, mereka tidak hanya berdo’a, namun persiapan menyambut Ramadhan mereka iringi dengan berbagai amal ibadah dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.

Abu Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullah mengatakan:
“Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen.” (Lathaaiful Ma’arif hal. 232)

Sebelum memasuki bulan Ramadhan, alangkah baiknya jika setiap individu kaum muslimin memperbaharui taubatnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi: 2499, Hasan)

Taubat memperlihatkan totalitas seorang muslim dalam menghadapi Ramadhan. Dia ingin memasuki bulan suci tanpa adanya hambatan-hambatan yang akan memperkeruh perjalanannya selama mengarungi Ramadhan.

Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat, karena taubat wajib dilakukan setiap saat. Allah ta’ala berfirman:

“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (An Nuur: 31).

Taubat yang dibutuhkan bukanlah seperti taubat yang sering kita kerjakan. Kita bertaubat, lalu lidah kita mengucapkan, “Saya memohon ampun kepadamu ya Allah, atas segala dosa yang telah hamba lakukan”,  kemudian hati kita lalai, dan setelah ucapan tersebut, berbagai macam dosa kembali terulang. Namun, yang dibutuhkan disini adalah totalitas dan kejujuran taubat.

Dan jangan sampai jika taubat tersebut hanya dilakukan selama bulan Ramadhan sementara di luar Ramadhan kemaksiatan kembali dilakukan. Ingatlah saudaraku, bahwa Ramadhan merupakan momentum ketaatan sekaligus madrasah untuk membiasakan diri beramal shalih sehingga jiwa terdidik untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan di sebelas bulan lainnya.

Saudaraku, jika kita lebih mengetahui bagaimana keutamaan-keutamaan bulan ramadhan, maka jelaslah kita akan lebih mempersiapkan diri untuk menyambut kehadirannya. Beberapa keutamaan itu antara lain sebagai berikut:

Ramadhan adalah Bulan Diturunkannya Al-Qur’an

Bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia. Bulan ini dipilih  sebagai bulan untuk berpuasa dan pada bulan ini pula Al-Qur’an diturunkan. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,

 “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)

Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan,”(Dalam ayat ini) Allah ta’ala memuji bulan Ramadhan dari bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an dari bulan-bulan lainnya. Sebagaimana pula pada bulan Ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ‘alaihimus salam.” (Tafsirul Qur’anil Adzim, I/501, Darut Thoybah)

Setan-setan Dibelenggu, Pintu-pintu Neraka Ditutup dan Pintu-pintu Surga Dibuka Ketika Ramadhan Tiba

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 “Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Pintu-pintu surga dibuka pada bulan ini karena banyaknya amal saleh dikerjakan sekaligus untuk memotivasi umat islam untuk melakukan kebaikan. Pintu-pintu neraka ditutup karena sedikitnya maksiat yang dilakukan oleh orang yang beriman. Setan-setan diikat kemudian dibelenggu, tidak dibiarkan lepas seperti di bulan selain Ramadhan.” (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 4, Wazarotul Suunil Islamiyyah)

Terdapat Malam yang Penuh Kemuliaan dan Keberkahan

Pada bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan). Pada malam inilah , yaitu pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, saat diturunkannya Al Qur’anul Karim.

Allah ta’ala berfirman,
 “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadr [97] : 1-3)

Dan Allah ta’ala juga berfirman,
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan [44] : 3)
Ibnu Abbas, Qotadah dan  Mujahid mengatakan bahwa malam yang diberkahi tersebut adalah malam lailatul qadar. (Lihat Ruhul Ma’ani, 18/423, Syihabuddin Al Alusi)

Bulan Ramadhan adalah Salah Satu Waktu Dikabulkannya Doa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.” (HR. Al Bazaar sebagaimana dalam Mujma’ul Zawaid dan Al Haytsami mengatakan periwayatnya tsiqoh/terpercaya. Lihat Jami’ul Ahadits, Imam Suyuthi)

Saudaraku, begitulah beberapa keutamaan dari bulan suci Ramadhan. Dengan keutamaan yang luar biasa seperti itu, bukankah kita sudah seharusnya mempersiapkan diri untuk menyambutnya?
Saudaraku, mari perbaharui taubat kita dan perbanyaklah amal ibadah untuk menyambut bulan suci yang ditunggu ini...

Wallahu’alam bisshawab



Sumber: 
Muhammad Abduh Tuasikal, “ Saudaraku, Inilah Keutamaan Puasa Ramadhan” (http://www.muslim.or.id)
Dr. Muhammad Mahdi Akif, “Beberapa Keutamaan Bulan Ramadhan”( http://www.al-ikhwan.net)
Muhammad Nur Ichwan Muslim, “Persiapkan Diri Menyambut Ramadhan”, (http://www.ikhwanmuslim.com)

Minggu, 25 Juli 2010

Sikap Ahlu Sunnah Terhadap Sifat Allah


Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Asma’ul Husna dan Shifat Al ‘Ulya
Oleh: Ust. Farid Nu'man
                Secara umum, sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap nama-nama Allah dan sifat-saifatNya, terbagi atas tiga bagian, yakni tatsbit (menetapkan apa adanya sesuai zhahir nash), tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala), dan ta’wil (memberikan maknanya). Bukan tahrif (menyimpangkan/merubah),ta’thil (menafikan/mengingkari), dan tasybih (menyerupakan dengan makhluk).
Dalam Fathul Bari , Al Imam Ibnu Hajar mengutip ucapan Ibnul Munayyar sebagai berikut:
وَلِأَهْلِ الْكَلَام فِي هَذِهِ الصِّفَات كَالْعَيْنِ وَالْوَجْه وَالْيَد ثَلَاثَة أَقْوَال : أَحَدهَا أَنَّهَا صِفَات ذَات أَثْبَتَهَا السَّمْع وَلَا يَهْتَدِي إِلَيْهَا الْعَقْل ، وَالثَّانِي أَنَّ الْعَيْن كِنَايَة عَنْ صِفَة الْبَصَر ، وَالْيَد كِنَايَة عَنْ صِفَة الْقُدْرَة ، وَالْوَجْه كِنَايَة عَنْ صِفَة الْوُجُود ، وَالثَّالِث إِمْرَارهَا عَلَى مَا جَاءَتْ مُفَوَّضًا مَعْنَاهَا إِلَى اللَّه تَعَالَى
Bagi Ahli kalam, tentang sifat-sifat ini seperti ‘mata’, ‘wajah’, ‘tangan’, terdapat tiga pendapat:
Pertama, sifat-sifat Allah adalah dzat yang ditetapkan oleh pendengaran (wahyu) dan tidak mampu bagi akal untuk mengetahuinya.
Kedua, bahwa ‘mata’ adalah kinayah (kiasan) bagi penglihatan, ‘tangan’ adalah kinayah dari kekuatan, dan ‘wajah’ adalah kinayah dari sifat wujud.
Ketiga, melewatinya sebagaimana datangnya, dan menyerahkan (mufawwadha) maknanya kepada Allah Ta’ala. (Fathul Bari, 20/484)
                Apa yang dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar ini, menunjukkan bahwa pada masa lalu, para ulama memaknai sifat-sifat Allah Ta’ala menjadi tiga metode:Pertamatatsbit. Kedua, ta’wil. Ketigatafwidh. Namun, di antara tiga metode ini, ta’wil adalah metode yang paling jarang mereka lakukan, karena kehati-hatian kaum salaf pada saat itu.
                Namun, sebagian kalangan mengklaim bahwa sikap Ahlus Sunnah yakni Salafus Shalih hanya satu yakni tatsbit (menetapkan apa adanya sesuai zhahir nash). Ada pula yang mengatakan bahwa salaf itu melakukan tafwidh, dan ini masyhur kata mereka. Ada pula yang mengatakan kaum salaf itu melakukan ta’wil, dan mereka punya bukti dan contoh dari para sahabat untuk itu. Dan masing-masing mereka membela pemahamannya, sambil menyerang yang lainnya, bahkan sampai taraf tafsiq (saling memfasikan) dan takfir (saling mengkafirkan). Mereka saling mengeluarkan yang lain telah keluar dari madzhab Ahlus Sunnah.
                Kelompok tatsbit, menganggap para pelaku ta’wil telah melakukan bid’ah, dan mereka menjulukinya dengan kaum Asy’ariyah. Sementara, para pelaku ta’wilmenganggap bahwa pihak tatsbit telah  menganggap Allah Ta’ala serupa dengan makhluk (tasybih) dan memiliki jasad (tajsim) karena menetapkan (itsbat) bahwa Allah Ta’ala memiliki kaki, tangan, wajah, dan bersemayam. Sebab, ini semua layak disandarkan kepada makhluk, bukan khaliq. Lalu –lucunya- keduanya sama-sama mengklaim memiliki sandaran dari para  salaf. 
Padahal apa yang mereka pahami semua, sama-sama memiliki dasar dari para salafush shalih, serta memiliki tujuan mulia, yakni menghindari dan melindungi kesucian sifat-sifatNya dari  pemahaman menyimpang  orang-orang awam, setelah Islam menyebar ke berbagai penjuru dunia yang tidak berbahasa Arab. Perbedaan mereka seharusnya  tidaklah mencolok, tidak dibenarkan untuk saling mengkafirkan,  sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Taimiyah, Imam As Syathibi, Imam Al Laqqani dan Imam Hasan Al Banna Rahimahumullah.
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengomentari fenomena saling mengkafirkan dan memfasikkan ini dengan mengatakan:
هَذَا مَعَ أَنِّي دَائِمًا وَمَنْ جَالَسَنِي يَعْلَمُ ذَلِكَ مِنِّي : أَنِّي مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ نَهْيًا عَنْ أَنْ يُنْسَبَ مُعَيَّنٌ إلَى تَكْفِيرٍ وَتَفْسِيقٍ وَمَعْصِيَةٍ ، إلَّا إذَا عُلِمَ أَنَّهُ قَدْ قَامَتْ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ الرسالية الَّتِي مَنْ خَالَفَهَا كَانَ كَافِرًا تَارَةً وَفَاسِقًا أُخْرَى وَعَاصِيًا أُخْرَى وَإِنِّي أُقَرِّرُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ خَطَأَهَا : وَذَلِكَ يَعُمُّ الْخَطَأَ فِي الْمَسَائِلِ الْخَبَرِيَّةِ الْقَوْلِيَّةِ وَالْمَسَائِلِ الْعَمَلِيَّةِ . وَمَا زَالَ السَّلَفُ يَتَنَازَعُونَ فِي كَثِيرٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَائِلِ وَلَمْ يَشْهَدْ أَحَدٌ مِنْهُمْ عَلَى أَحَدٍ لَا بِكُفْرِ وَلَا بِفِسْقِ وَلَا مَعْصِيَةٍ

“Ini adalah selalu menjadi pendapat saya, dan orang yang bermajelis dengan saya pasti tahu itu: Sesungguhnya saya adalah termasuk manusia yang paling keras melarang untuk menyandarkan seseorang secara spesifik kepada hukum kafir, fasik, dan maksiat, kecuali jika telah diketahui bahwa dia telah diberikan hujjah Islam yang siapa pun berselisih dengannya maka dia kafir, fasik, dan telah bermaksiat. Aku tekankan, sesungguhnya Allah telah mengampuni kesalahan umat ini: yang demikian itu kesalahan secara umum, baik itu permasalahan khabariyah (sifat-sifat Allah, pen), ucapan, atau perbuatan. Para salaf senantiasa berselisih dalam banyak permasalahan ini. Namun tidaklah menyaksikan mereka terhadap yang lainnya saling mengkafirkan, memfasikan dan menyebut telah berbuat maksiat.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 1/258)
Imam Al Laqqani Rahimahullah mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Imam Al Alusi:
قال اللقاني : أجمع الخلف ويعبر عنهم بالمؤولة والسلف ويعبر عنهم بالمفوضة على تنزيهه تعالى عن المعنى المحال الذي دل عليه الظاهر وعلى تأويله وإخراجه عن ظاهره المحال وعلى الإيمان به بأنه من عند الله تعالى جاء به رسول الله صلى الله عليه وسلم وإنما اختلفوا في تعيين محمل له معنى صحيح وعدم تعيينه بنا

 Al Laqqani berkata, “Kaum khalaf -sering disebut orang-orang yang melakukan takwil- dan kaum salaf- sering disebut sebagai orang yang melakukantafwidh- telah sepakat untuk mensucikan  Allah dari lafaz literal (tekstual) yang mustahil bagi Allah, menakwil dan mengeluarkan dari lafaz literal yang mustahil, serta mengimani bahwa hal itu adalah dari Allah yang diturunkan kepada Rasulullah. Mereka hanya berbeda dalam menentukan atau tidak menentukan mana yang benar. “ (Ruhul Ma’ani, 12/103)
Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah juga mengatakan seperti yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah, sebagai berikut:
ونعتقد إلى جانب هذا أن تأويلات الخلف لا توجب الحكم عليهم بكفر ولا فسوق ، ولا تستدعي هذا النزاع الطويل بينهم وبين غيرهم قديما وحديثا ، وصدر الإسلام أوسع من هذا كله .
وقد لجأ أشد الناس تمسكا برأي السلف ، رضوان الله عليهم ، إلى التأويل في عدة مواطن ، وهو الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه ، من ذلك تأويله لحديث : (الحجر الأسود يمين الله في أرضه) وقوله صلى الله عليه وسلم :(قلب المؤمن بين إصبعين من أصابع الرحمن) وقوله صلى الله عليه وسلم : (إني لأجد نفس الرحمن من جانب اليمن) .
                “Bersamaan ini, kami juga meyakini bawah ta’wil – ta’wil kaum khalaf tidaklah mengharuskan jatuhnya hukum kafir dan fasik kepada mereka, dan jangan sampai terjadi pertentangan berkepanjangan di antara mereka dan selain mereka, baik yang terdahulu dan sekarang, dada Islam lebih luas dari itu semua.

                Orang yang paling kuat dalam memegang pendapat salaf –semoga Allah meridhai mereka- pun telah melakukan ta’wil pada beberapa tempat, dia adalah Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu. DI antaranya adalah ta’wilnya terhadap hadts: “Hajar Aswad adalah Tangan Kanan Allah di muka bumi.” Dan hadits lainnya: “Hati seorang mu’min berada di antara dua jari dari jari-jari Ar Rahman.” Dan hadits: “Sesungguhnya saya mendapatkan Zat Ar Rahman dari arah Yaman.” (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Ar Rasail, Hal. 368. Al Maktabah At Tafiqiyah)

Sikap pertama: Tatsbit (menetapkan apa adanya sesuai zhahir nash)
                Berkata Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah:
أما السلف رضوان الله عليهم فقالوا: نؤمن بهذه الآيات والأحاديث كما وردت ، ونترك بيان المقصود منها لله تبارك وتعالى , فهم يثبتون اليد والعين والأعين والاستواء والضحك والتعجب... الخ , وكل ذلك بمعانٍ لا ندركها , ونترك لله تبارك وتعالى الإحاطة بعلمها , ولاسيما و قد نهينا عن ذلك في قول النبي صلى الله عليه وسلم : (تفكروا في خلق الله , و لا تتفكروا في الله , فإنكم لن تقدروا قدره ) .
                “Ada pun salaf –semoga Allah meridhai mereka semua – mengatakan: Kami mengimani ayat-ayat dan hadits-hadits ini sebagaimana datangnya, dan kami membiarkan maksud penjelasannya   kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mereka itsbat (menetapkan) tangan, mata, bersemayam , tertawa, dan takjub .. dan seterusnya, dan semua ini dengan makna-makan yang kami tidak mampu mencapainya, dan kami serahkan kepada  Allah Tabaraka wa Ta’ala tentang cakupkan pengertianNya, dan apalagi kami telah dilarang dalam hal ini sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Berpikirlah tentang ciptaan Allah, jangan kalian berpikir tentang zat Allah, sesungguhnya kalian tidak akan mampu menjangkaunya.” (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Ar Rasail, Hal. 362. Al Maktabah At Taufiqiyah)
                Syaikh Hasan Al Banna memberikan informasi kepada kita bahwa sikap salaf terhadap ayat dan hadits-hadits yang berbicara sifat-sifat Allah Ta’ala, adalah tatsbit yakni menetapkan maknanya apa adanya sesuai sebagaimana datangnya ayat. Hal ini juga ditetapkan oleh Imam lainnya.
                Imam Ibnu Taimiyah mengutip dari Imam Al Baihaqi Rahimahullah sebagai berikut:
أَمَّا الْمُتَقَدِّمُونَ مِنْ هَذِهِ الْأَمَةِ فَإِنَّهُمْ لَمْ يُفَسِّرُوا مَا كَتَبْنَا مِنْ الْآيَاتِ وَالْأَخْبَارِ فِي هَذَا الْبَابِ ؛ وَكَذَلِكَ قَالَ فِي " الِاسْتِوَاءِ عَلَى الْعَرْشِ " وَسَائِرِ الصِّفَاتِ الْخَبَرِيَّةِ ؛ مَعَ أَنَّهُ يَحْكِي قَوْلَ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ . وَقَالَ الْقَاضِي أَبُو يَعْلَى فِي كِتَابِ " إبْطَالِ التَّأْوِيلِ " لَا يَجُوزُ رَدُّ هَذِهِ الْأَخْبَارِ وَلَا التَّشَاغُلُ بِتَأْوِيلِهَا وَالْوَاجِبُ حَمْلُهَا عَلَى ظَاهِرِهَا وَأَنَّهَا صِفَاتُ اللَّهِ لَا تُشْبِهُ صِفَاتِ سَائِرِ الْمَوْصُوفِينَ بِهَا مِنْ الْخَلْقِ ؛ وَلَا يَعْتَقِدُ التَّشْبِيهَ فِيهَا ؛ لَكِنْ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ الْإِمَامِ أَحْمَد وَسَائِرِ الْأَئِمَّةِ . وَذَكَرَ بَعْضَ كَلَامِ الزُّهْرِيِّ وَمَكْحُولٍ وَمَالِكٍ وَالثَّوْرِيِّ والأوزاعي وَاللَّيْثِ وَحَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ وَحَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ وَسُفْيَانَ بْنِ عيينة والفضيل بْنِ عِيَاضٍ وَوَكِيعٍ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَهْدِيٍّ وَالْأُسُودِ بْنِ سَالِمٍ وَإِسْحَاقَ بْنِ راهويه وَأَبِي عُبَيْدٍ وَمُحَمَّدِ بْنِ جَرِيرٍ الطبري وَغَيْرِهِمْ فِي هَذَا الْبَابِ .
“Ada pun para pendahulu umat ini, mereka tidak menafsirkan apa yang kami tulis berupa ayat atau khabar (hadits) dalam masalah ini, begitu pula ayat tentang: “bersemayam di atas ‘arys” dan seluruh sifat khabariyah, “ beliau juga menceritakan ucapan sebagian ulama belakangan tentang masalah ini. Al Qadhi Abu Ya’ala mengatakan dalam kitab Ibthalul Ta’wil: “Tidak boleh menolak khabar (hadits) ini dan tidak disibukkan menta’wilnya dan wajib membawa (makna)nya kepada zhahirnyasesungguhnya sifat-sifat Allah Ta’ala tidaklah serupa dengan semua sifat-sifat yang disandarkan kepada makhluk, dan tidak boleh meyakini di dalamnya terdapat tasybih, tetapi seperti apa yang diriwayatkan dari Imam Ahmad dan semua Imam lainnya.”
Beliau (Al Baihaqi) juga menyebut sebagian ucapan dari Az Zuhair, Mak-hul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Laits bin Sa’ad, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Sufyan bin  ‘Uyainah, Al Fudhail,  Al Waki, Abdurrahman bin Mahdi,  Al Aswad bin Salim, Ishaq bin Rahawaih,  Abu ‘Ubaidah, Muhammad bin Jarir Ath Thabari, dan lain-lain, tentang permasalahan ini.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 1/426)
 Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengutip dari Syaikh Syihabuddin As Sahrawardi sebagai berikut:
أَخْبَرَ اللَّه فِي كِتَابه وَثَبَتَ عَنْ رَسُوله الِاسْتِوَاء وَالنُّزُول وَالنَّفْس وَالْيَد وَالْعَيْن ، فَلَا يُتَصَرَّف فِيهَا بِتَشْبِيهٍ وَلَا تَعْطِيل ، إِذْ لَوْلَا إِخْبَار اللَّه وَرَسُوله مَا تَجَاسَرَ عَقْل أَنْ يَحُوم حَوْل ذَلِكَ الْحِمَى ، قَالَ الطِّيبِيُّ : هَذَا هُوَ الْمَذْهَب الْمُعْتَمَد وَبِهِ يَقُول السَّلَف الصَّالِح
Berkata Syaikh Syihabuddin As Sahrawardi dalam kitabnya ‘Al Aqidah’ : “Allah telah mengabarkan dalam Al Quran dan Rasul juga telah menetapkan tentang  bersemayam, turun, jiwa, tangan, dan mata. Itu semua tidak boleh disikapi dengan penyerupaan dan tidak pula pengingkaran. Jikalau tidak dikabarkan oleh Allah dan RasulNya, maka akal pun tidak boleh lancang untuk menerka-nerkanya.” Berkata Ath Thayyibi: “Inilah madzhab yang kuat, yang merupakan pendapat salafus shalih.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 20/484)
Apa yang dikatakan Syaikh Syihabuddin As Sahrawardi ini mirip dengan apa yang dikatakan oleh Al Ustadz Hasan Al Banna.
Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu ditanya tentang hadits-hadits sifat, dia menjawab:
أمرها كما جاءت، بلا تفسير
“Biarkan saja sebagaimana datangnya, jangan tafsirkan.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, 8/105)
Imam Malik juga berkata:
 مَنْ وَصَفَ شَيْئًا مِنْ ذَاتِ اللَّهِ مِثْلَ قَوْلِهِ { وَقَالَتْ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ } فَأَشَارَ بِيَدِهِ إلَى عُنُقِهِ ، وَمِثْلُ قَوْلِهِ { وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } فَأَشَارَ إلَى عَيْنِهِ وَأُذُنِهِ أَوْ شَيْئًا مِنْ يَدَيْهِ قُطِعَ ذَلِكَ مِنْهُ لِأَنَّهُ شَبَّهَ اللَّهَ بِنَفْسِهِ ، ثُمَّ قَالَ مَالِكٌ : أَمَا سَمِعْت قَوْلَ الْبَرَاءِ حِينَ حَدَّثَ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَا يُضَحِّي بِأَرْبَعٍ مِنْ الضَّحَايَا وَأَشَارَ الْبَرَاءُ بِيَدِهِ كَمَا أَشَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ الْبَرَاءُ وَيَدَيَّ أَقْصَرُ مِنْ يَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ } فَكَرِهَ الْبَرَاءُ أَنْ يَصِفَ يَدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إجْلَالًا لَهُ وَهُوَ مَخْلُوقٌ فَكَيْفَ الْخَالِقُ الَّذِي لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ انْتَهَى .

“Barangsiapa yang mensifati Zat Allah Ta’ala dengan sesuatu, misal firmanNya: “Orang Yahudi berkata tangan Allah terbelenggu” lalu dia mengisyaratkan tangannya ke lehernya, menyilangkan tangannya, dan demikian msalnya kata ‘Mendengar’, ‘Melihat’,  dia mengisyaratkan tangannya ke telinga, mata, atau sebagian dari kedua tangannya, maka ia telah melakukan kesalahan, karena dia telah menyerupakan Allah Ta’ala dengan dirinya.”
Lalu Malik berkata: “Tidakkah kau dengan ucapan Al Barra’ ketika dia berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah berkurban dengan empat kurban, dia mengisyaratkan dengan  tangannya sebagaimana Nabi mengisyaratkan dengan tangannya. Al Barra berkata: Tanganku lebih pendek dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka, Al Barra tidak suka menyifati tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai penghormatan terhadapnya, padahal Nabi adalah makhluk. Maka, bagaimana dengan Al Khaliq yang tiada satu pun yang serupa denganNya?” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al Fatawa Al Kubra, 10/122. Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 11/256. Imam Abu Hayyan Muhamamd bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan, Al Bahr Al Muhith, 8/128)   
Berkata Imam  Ash Shabuni, dalam kitab Aqidah As Salaf wa Ashab Al Hadits, sebagaimana yang dikutip dalam catatan kaki kitab I’tiqad Aimmah Al Hadits:
وجاء ربك والملك صفا صفا ونؤمن بذلك كله على ما جاء
“Dan Datanglah Rabmu dan Malaikat bershaf-shaf,”  dan kami mengimaninya semuanya sebagaimana datangnya. (Syaikh Abu Bakar Al Isma’ili, I’tiqad Aimmah Al Hadits, Hal. 13)
Ketika mengomentari surat Al A’raf ayat 54, “Tsummastawa ‘alal ‘arsy.” Imam Ibnu Katsir berkata:
وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل
Sesungguhnya cara yang ditempuh oleh madzhab salafus shalih dalam hal ini, seperti Malik, Al Auza’i, Ats Tsauri, Al Laits bin Sa’ad, Asy Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan lain-lain, dari kalangan Imam muslimin baik dahulu maupun sekarang. Mereka membiarkan  sebagaimana datangnya dengan tanpa bertanya bagaimana, tanpa menyerupakan, dan tanpa mengingkari. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/427)
Imam Abul Hasan Al Asy’ari sendiri mengikuti madzhab tatsbit sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Taimiyah:
وَأَمَّا الْأَشْعَرِيُّ نَفْسُهُ وَأَئِمَّةُ أَصْحَابِهِ فَلَمْ يَخْتَلِفْ قَوْلُهُمْ فِي إثْبَاتِ الصِّفَاتِ الْخَبَرِيَّةِ وَفِي الرَّدِّ عَلَى مَنْ يَتَأَوَّلُهَا كَمَنْ يَقُولُ : اسْتَوَى بِمَعْنَى اسْتَوْلَى . وَهَذَا مَذْكُورٌ فِي كُتُبِهِ كُلِّهَا كَ " الْمُوجَزِ الْكَبِيرِ " وَ " الْمَقَالَاتِ الصَّغِيرَةِ وَالْكَبِيرَةِ " وَ " الْإِبَانَةِ " وَغَيْرِ ذَلِكَ . وَهَكَذَا نَقَلَ سَائِر النَّاسِ عَنْهُ حَتَّى الْمُتَأَخِّرُونَ كَالرَّازِيَّ وَالْآمِدِيَّ يَنْقُلُونَ عَنْهُ إثْبَاتَ الصِّفَاتِ الْخَبَرِيَّةِ وَلَا يَحْكُونَ عَنْهُ فِي ذَلِكَ قَوْلَيْنِ .
“Ada pun Al Asy’ari sendiri dan juga para imam yang mengikutinya, mereka tidaklah berbeda pendapat  dalam menetapkan (itsbat) sifat-sifat khabariyah dan dalam membantah orang-orang yang menta’wilkannya, seperti orang yang mengatakan: istawa (bersemayam) maknanya adalah istawla (menguasai). Ini disebutkan dalam semua kitabnya, seperti Al Mujazi Al KabirAl Maqallat Ash Shaghirah wal Kabirah, dan Al Ibanah,  dan yang lainnya. Dan seperti itulah semua manusia mengutip darinya, sampai generasi muta’akhirun (belakangan) seperti Ar Razi dan Al Amidi, mengutip  darinya tentang itsbat (penetapan) terhadap sifat-siifat khabariyah, dan tidak diceritakan darinya tentang hal ini adanya dua pendapat.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 3/94)
Sementara Imam Ibnu Furak, salah satu pengikut Imam Al Asy’ari,  juga melakukan tatsbit, sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam.
فَصْلٌ هَذَا مَعَ أَنَّ ابْنَ فورك هُوَ مِمَّنْ يُثْبِتُ الصِّفَاتِ الْخَبَرِيَّةَ كَالْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ وَكَذَلِكَ الْمَجِيءُ وَالْإِتْيَانُ . مُوَافَقَةً لِأَبِي الْحَسَنِ فَإِنَّ هَذَا قَوْلُهُ وَقَوْلُ مُتَقَدِّمِي أَصْحَابِهِ
                “Pembahasan ini tentang Ibnu Furak, dia termasuk diantara yang menetapkan sifat-sifat khabariyah seperti wajah, dua tangan, dan seperti itulah maknanya sebagaimana datangnya. Sesuai  dengan Abul Hasan, dan sesungguhnya ini adalah pendapatnya dan pendapat para pendahulu dari sahabat-sahabatnya.” (Ibid, 3/409)
                Imam Muhammad bin Al Hasan Rahimahullah -beliau adalah murid Imam Abu Hanifah- mengatakan:
اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب على الإيمان بالقرآن والأحاديث التي جاء بها الثقات في صفة الرب عز وجل من غير تفسير ولا وصف ولا تشبيه، فمن فسر اليوم شيئا من ذلك فقد خرج مما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم وفارق الجماعة، فإنهم لم يصفوا ولم يفسروا ولكن أفتوا بما في الكتاب والسنة ثم سكتوا

                “Seluruh ahli fiqih sepakat, baik timur dan barat, tentang keimanan terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah ‘Azza wa Jalla yang telah diriwayatkan dari orang terpercaya, tanpa tafsir (interpretasi), washf (menyifati dengan sifat yang tidak layak), tasybih (merupai dengan makhluk), barang siapa yang hari ini melakukan penafsiran, maka dia telah keluar dari jalan yang tempuh oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berpisah dari jamaah. Demikian itu, karena mereka tidak pernah mensifati, tidak menafsirkan, tetapi mereka menerangkan dengan apa-apa yang ada dalam Al Quran dan As Sunnah, lalu diam.” (Imam Ibnul Qayyim, Ijtima’ Al Juyusy Al Islamiyah, Hal. 64. Syaikh Dr Abdullah ‘Azzam, Aqidah wa Atsaruha fi Bina’ Al Jiil, Hal. 56. Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 20/494. Imam Abu Thayyb Syamsul Haq Al ‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud, 10/245)

                Al Khalal berkata: telah mengabarkanku Ali bin ‘Isa bahwa Hambal berkata kepada mereka: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal) tentang hadits yang meriwayatkan bahwa ‘Allah Ta’ala turun ke langit dunia’, ‘Allah melihat’, ‘Allah meletakkan kakiNya’ , dan hadits-hadits semisalnya?
               
                Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu menjawab:

نؤمن بها ونصدق بها، ولا نَرُدُّ منها شيئاً، ونعلم أن ما جاء به رسول الله صلى الله عليه وسلم حق إذا كانت أسانيد صحاح، ولا نرد على الله قوله، ولا يوصف بأكثر مما وصف به نفسه بلا حد ولا غاية " لَيْسَ كَمِثْلِهِ شيءٌ وَهُوَ السّمِيع البَصيرُ

                “Kami mengimaninya dan membenarkannya, kami tidak membantahnya sama sekali, dan kami mengetahui bahwa apa-apa yang datang dari RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah benar, jika sanadnya shahih, dan kami tidaklah membantah firmanNya, dan kami tidaklah mensifatiNya lebih banyak dari Dia sifatkan terhadap diriNya, dengan tanpa batas, dan tanpa ujung. “Tidak ada yang serupa denganNya, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (Imam Ibnul Qayyim, Ijtima’ Al Juyusy Al Islamiyah, Hal. 61. Syaikh Dr. Abdullah ‘Azzam, Aqidah wa Atsaruha fi Bina’ Al Jiil, Hal. 57)

                Apa yang dikatakan oleh Iman Ahmad bin Hambal ini mirip dengan yang dikatakan oleh Imam Hasan Al Banna, berikut:

ومعرفة الله تبارك وتعالى وتوحيده وتنزيهه أسمى عقائد الإسلام ، وآيات الصفات وأحاديثها الصحيحة وما يليق بذلك من التشابه , نؤمن بها كما جاءت من غير تأويل ولا تعطيل , ولا نتعرض لما جاء فيها من خلاف بين العلماء , ويسعنا ما وسع رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه (وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا) (آل عمران:7)

                “Ma’rifah kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dan mengesakanNya, serta mensucikan zatNya merupakan setinggi-tingginya aqidah Islam. dan Ayat-ayat sifat serta hadits-hadits shahih tentangnya, serta berbagai keterangan mutasyabihat tentangnya, kita mengimaninya sebagaimana datangnya tanpa ta’wil dan tanpa ta’thil (mengingkari), serta tidak mempertajam perselsihan yang terdapat pada ulama, kita telah melapangkan diri sebagaimana   Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam dan sahabatnya telah melapangkan. 

“Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." (QS. Ali Imran (3): 7) (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Ar Rasail, Hal. 306. Al Maktabah At Taufiqiyah)

                Oleh karena itu, jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang benar, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir berikut:

فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيل الهدى.

                “Maka, siapa saja yang menetapkan Allah Ta’ala sebagaimana  yang dijelaskan oleh ayat-ayat yang terang dan hadits-hadits yang shahih, sesuai dengan hal yang  pantas bagi keagungan Allah Ta’ala, dan meniadakan kekurangan bagiNya, maka dia telah menumpuh jalan pentunjuk.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/427)

                Abdul Aziz bin Abdullah bin Abi Salamah Al Majisyun mengatakan – sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Al Atsram, Abu Amr Ath Thalmanki, Abu Abdillah bin Baththah, dengan pembahasan yang cukup panjang, hingga akhirnya dia berkata:

فَمَا وَصَفَ اللَّهُ مِنْ نَفْسِهِ فَسَمَّاهُ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ سَمَّيْنَاهُ كَمَا سَمَّاهُ وَلَمْ نَتَكَلَّفْ مِنْهُ صِفَةَ مَا سِوَاهُ لَا هَذَا وَلَا هَذَا لَا نَجْحَدُ مَا وَصَفَ وَلَا نَتَكَلَّفُ مَعْرِفَةَ مَا لَمْ يَصِفْ .

                “Maka, apa saja yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan yang disifatkan oleh RasulNya, maka kami menamakannya sebagaimana Allah dan RasulNya telah namakan. Kami tidaklah membebani diri mensifatiNya dengan sifat-sifat lain, tidak yang ini tidak pula yang itu. Kami tidak menolak kata yang dipakai untuk menyifati  dan tidak pula mencari-cari pengertian yang tidak dituturkan.” (Imam Ibnu Taimiyah, Al Fatawa Al Kubra, 10/122)

                Demikianlaih madzhab tatsbit. Sikap mereka terhadap ayat dan hadits-hadits sifat adalah, mereka diam, tidak membahas, membiarkan apa adanya, memahami sebagaimana datangnya, tanpa tafsir, ta’wil, tasybih, dan tahrif.

                Namun, ada pula ulama yang menganggap apa yang mereka lakukan ini bukanlah tatsbit (menetapkan apa adanya sesuai zhahir nash), tetapi tafwidh(menyerahkan makna dan pengetahuannya kepada Allah Ta’ala). Oleh karena itu, jangan kaget jika sebagian Imam Ahlus Sunnah justru mengatakan tafwidh adalah madzhab salaf yang sesungguhnya. Walau  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mencela tafwidh dengan celaan yang sangat keras. Wallahu A’lam

Sikap Kedua: Tafwidh

                Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah  berkata ketika mengunggulkan madzhab salaf tentang masalah sifat-sifat Allah Ta’ala, mengatakan:
ونحن نعتقد أن رأي السلف من السكوت وتفويض علم هذه المعاني إلى الله تبارك وتعالى أسلم وأولى بالاتباع ، حسما لمادة التأويل والتعطيل ، فإن كنت ممن أسعده الله بطمأنينة الإيمان ، وأثلج صدره ببرد اليقين ، فلا تعدل به بديلا  
                “Kami meyakini bahwa pendapat salaf yakni diam dan menyerahkan ilmu makna-makna ini kepada Allah Ta’ala adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti, dengan memangkas habis takwil dan ta’thil (pengingkaran), maka jika Anda adalah termasuk orang yang telah Allah bahagiakan dengan ketenangan iman, dan disejukkan dadanya dengan salju embun keyakinan, maka janganlah mencari gantinya (salaf).” (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu Ar Rasail, Hal. 368. Al Maktabah At Taufiqiyah)
                Sebagian orang ada yang mencela apa yang dikatakan oleh Al Ustadz Hasan Al Banna ini, lantaran mereka begitu ‘memaksakan’ pendapatnya bahwa kaum salaf adalah tatsbit, tidak yang lainnya. Sebenarnya, jika mereka mau bersabar untuk melihat ke berbagai literatur yang ada, mereka akan temukan bahwa apa yang dikatakan oleh Al Ustadz Hasan Al Banna ini merupakan kesimpulan dan sikap para Imam Ahlus Sunnah sebelumnya. Sehingga tidak perlu sampai keluar celaan untuknya, yang secara tidak langsung hal itu juga celaan untuk para ulama sebelumnya.
                Imam Adz Dzahabi Rahimahullah mengatakan bahwa sikap salaf terhadap Bab Sifat-Sifat Allah Ta’ala adalah tafwidh, berikut ucapannya:

فقولنا في ذلك وبابه: الاقرار، والامرار، وتفويض معناه إلى قائله الصادق المعصوم
Adapun pendapat kami tentang itu dan dalam bab ini adalah  mengakui, membiarkan, dan menyerahkan (tafwidh) maknanya kepada pengucapnya yang benar dan ma’shum (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 8/105)
Begitu pula Imam Al Alusi Rahimahullah, ketika menafsirkan Surat Al An’am ayat  158:
أَوْ يَأْتِىَ بَعْضُ ءايات رَبّكَ
“Atau Kedatangan sebagian ayat Tuhanmu”
                Berkata Imam Al Alusi dalam tafsir Ruhul Ma’ani:
وأنت تعلم أن المشهور من مذهب السلف عدم تأويل مثل ذلك بتقدير مضاف ونحوه بل تفويض المراد منه إلى اللطيف الخبير مع الجزم بعدم إرادة الظاهر
                “Engkau telah mengetahui, bahwa yang masyhur dari madzhab salaf adalah meniadakan takwil seperti itu, baik dengan cara menambahkan atau lainnya, tetapi (mereka) tafwidh (menyerahkan) maksudnya kepada Al Lathiful Khabir (maksudnya Allah Ta’ala) beserta meyakininya  dengan tanpa memaknainya secara literal.” (Ruhul Ma’ani,  6/80)
                Begitu pula ketika menafsiri Al A’raf ayat 54:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
                “Kemudian Allah bersemayam di atas ‘Arys”
            Berkata Imam Al Alusi:
وأنت تعلم أن المشهور من مذهب السلف في مثل ذلك تفويض المراد منه إلى الله تعالى
            “Engkau telah mengetahui, bahwa yang masyhur dari madzhab salaf dalam hal seperti ini adalah tafwidh (menyerahkan) maksudnya kepada Allah Ta’ala.”(Ibid, 6/196)
Berkata Imam An Naisaburi dalam tafsirnya ketika menafsiri Al Maidah ayat 64:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ
                “Dan orang Yahudi berkata: tangan Allah terbelenggu ..”

وكان طريقة السلف الإيمان بها وأنها من عند الله ثم تفويض معرفتها إلى الله
                “Adalah metode kaum salaf mereka mengimaninya, bahwa itu dari sisi Allah, kemudian tafwidh (menyerahkan) pengetahuan tentangnya kepada Allah.”(Tafsir An Naisaburi, 3/186)
                Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri Rahimahullah mengatakan tentang makna, ‘Alal ‘Arsyistawa’ , Dia bersemayam di atas ‘arsy:
وَلِقَوْلِهِ : { عَلَى الْعَرْشِ اِسْتَوَى } مِنْ تَفْوِيضِ عِلْمِهِ إِلَيْهِ تَعَالَى وَالْإِمْسَاكِ عَنْ تَأْوِيلِهِ .

                “Untuk firmanNya: ‘Ala Al ‘Arsy istawa (Dia bersemayam di atas ‘arsy), termasuk menyerahkan ilmunya kepada Allah Ta’ala, dan menahan diri dari menta’wilnya.” (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri,Tuhfah Al Ahwadzi Syarh Sunan At Tirmidzi, 8/160)
Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki beliau berkata:
فإِنَّ أحدًا لا يعرفُ كيفيةَ ما أخبر الله به عن نفسه ، ولا يقف على كنه ذاته وصفاته غيره ، وهذا هو الذي يجبُ تفويضُ العلم فيه إِلى الله عزَّ وجلَ
                “Maka, sesungguhnya tak ada satu pun manusia yang mengetahui bagaimana caranya, tentang apa-apa yang Allah kabarkan tentang diriNya, dan tidak ada yang mengerti asalNya, DzatNya, SifatNya, selain diriNya, dan yang demikian itulah yang diwajibkan untuk menyerahkan (tafwidh) ilmu tentang hal itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Mujmal I’tiqad A’immah As Salaf,  Hal. 141)
Demikianlah. Imam Al Alusi justru mengatakan, tafwidh baik itu tafwidhul murad (menurut istilah Imam Al Alusi ), atau tafwidhul ma’na (menurut istilah Imam Adz Dzahabi), atau tafwidhul ma’rifah (menurut istilah Imam An Naisaburi), atau tafwidhul ‘ilmi (menurut istilah Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki) yang semuanya bermakna sama yakni  menyerahkan maksud/makna/pengetahuan/ilmu tentang sifat-sifat Allah  kepada Allah Ta’ala, ternyata sebagaimana dikatakan Imam Al Alusi- itu adalah madzhab masyhur dari para ulama salaf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun melakukan tafwidh
                Disadari atau tidak, sengaja atau tidak, ternyata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga melakukan tafwidh terhadap sifat-sifat Allah Ta’ala. Padahal tafwidh adalah pemahaman yang sangat dia benci. Demikian katanya:

" الْإِيمَانُ بِصِفَاتِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَسْمَائِهِ " الَّتِي وَصَفَ بِهَا نَفْسَهُ وَسَمَّى بِهَا نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ وَتَنْزِيلِهِ أَوْ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَيْهَا وَلَا نَقْصٍ مِنْهَا وَلَا تَجَاوُزٍ لَهَا وَلَا تَفْسِيرٍ لَهَا وَلَا تَأْوِيلٍ لَهَا بِمَا يُخَالِفُ ظَاهِرَهَا وَلَا تَشْبِيهٍ لَهَا بِصِفَاتِ الْمَخْلُوقِينَ ؛ وَلَا سِمَاتِ المحدثين بَلْ أَمَرُوهَا كَمَا جَاءَتْ وَرَدُّوا عِلْمَهَا إلَى قَائِلِهَا ؛ وَمَعْنَاهَا إلَى الْمُتَكَلِّمِ بِهَا . وَقَالَ بَعْضُهُمْ - وَيُرْوَى عَنْ الشَّافِعِيِّ - : " آمَنْت بِمَا جَاءَ عَنْ اللَّهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللَّهِ "
“Beriman kepada Sifat Allah Ta’ala dan NamaNya” yang telah Dia sifatkan diriNya sendiri, dan Dia namakan diriNya sendiri, di dalam KitabNya dan wahyuNya, atau atas lisan RasulNya, dengan tanpa penambahan atau pengurangan atasnya, tidak melampauinya, tidak menafsirkannya dengan apa-apa yang menyelisihi zhahirnya, tidak menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk, dan apalagi dengan pembawa berita, tetapi membiarkan sebagaimana datangnya, dan mengembalikan ilmunya kepada yang mengucapkannya, dan mengembalikan maknanya kepada yang membicarakannya. Sebagian mereka berkata: -diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i- : Aku beriman dengan apa-apa yan datang dari Allah, dan yang datang dari Rasulullah Shllalalhu “Alaihi wa Sallam dengan maksud dari Rasulullah.” (Majmu’  Fatawa, 1/ 294)
Apa yang dikatakannya: “ ... dan mengembalikan ilmunya kepada yang mengucapkannya, dan mengembalikan maknanya kepada yang membicarakannya.”Tak lain dan tak bukan adalah tafwidhul ilmi (menyerahkan ilmunya kepada Allah Ta’ala) dan tawidhul ma’na (menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala). Sungguh, ini sangat jelas persamaannya. Wallahu A’lam.
Sedangkan, kita melihat adanya dua sikap dari Al Ustadz Hasan Al Banna, dia menampakkan bahwa sikap yang benar sebagaimana salaf adalah mengimani dan menetapkan sebagaimana datangnya (tatsbit), dan menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala (tafwidh), tanpa takwil dan ta’thil.
Sikap ketiga: Takwil (memberikan makna yang tidak mengotori kesucian Allah Ta’ala)
                Kita akan dapati pula, bahwa sebagian salaf, mulai dari sahabat dan tabi’in juga ada yang melakukan ta’wil terhadap sifat-sifat yang disandarkan kepada Allah Ta’ala. Namun, pada generasi selanjutnya, metode ta’wil inilah yang lebih sering ditempuh oleh para ulama. Maka boleh kita katakan, ta’wilmerupakan madzhab jumhur setelah masa-masa abad-abad pertama Islam. Ta’wil yang kita bahas di sini, bukanlah ta’wil kaum zindik yang memang telah melakukan penyimpangan terhadap makna-makna sifat Allah Ta’ala.
                Sebelum saya paparkan tentang  contoh ta’wil para Imam Ahlus Sunnah, saya akan berikan rambu-rambu ta’wil, dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
Syaikh Utsaimin membagi ta’wil menjadi tiga dalam kitab,  Lum’ah al I’tiqad, Hal. 19 (saya ringkas saja):

1.   Dilakukan melalui ijtihad dan niat yang baik. Maka ini dimaafkan.
2.   Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan memiliki argumentasi bahasa Arab, maka pelakunya fasiq, kecuali jika pendapatnya itu terdapat penguarangan atau aib terhadap Allah maka itu bias kufur.
3.   Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan tanpa memiliki argumentasi bahasa Arab. Keloimpok ini kufur, kaena pada hakikatnya kedustaan yang tidak berdasar.
Berikut ini beberapa contoh ta’wil yang dilakukan oleh sahabat nabi dan tabi’in ridhwanullah ‘alaihim jami’an, terhadap ayat-ayat sifat
                 Firman Allah Ta’ala tentang ‘tangan’:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ
                “Dan orang Yahudi berkata: tangan Allah terbelenggu ..”
                Ayat ini tidak mungkin dipahami sesuai teksnya, sebab membawa makna Allah Ta’ala serupa dengan makhlukNya sendiri yang tangannya terbelenggu. Oleh karena itu, Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:
ليس يعنون بذلك أن يد الله موثقةٌ، ولكنهم يقولون: إنه بخيل أمسك ما عنده، تعالى الله عما يقولون علوًّا كبيًرا.
                “Maknanya bukanlah tangan Allah terikat, tetapi mereka mengatakan: Sesungguhnya Allah Ta’ala bakhil, lantaran telah menahan apa-apa yang ada padaNya, Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang besar.”
                Sementara Qatadah Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
أما قوله:"يد الله مغلولة"، قالوا: الله بخيل غير جواد!
                “Ada pun tentang firmanNya, Tangan Allah Terbelenggu, mereka mengatakan: “Allah itu bakhil tidak dermawan.” (Imam Abu Ja’afar bin Jarir Ath Thabari,Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, 10/452-453)
                Imam Ibnu Katsir telah menyebutkan, dari Ibnu Abbas tentang makna ‘terbelenggu’: yakni bakhil. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/146)
                Imam Al Baghawi Rahimahullah berkomentar tentang ayat tersebut:
قال ابن عباس وعكرمة والضحاك وقتادة: إن الله تعالى كان قد بسط على اليهود حتى كانوا من أكثر الناس مالا وأخصبهم ناحية فلما عصوا الله في أمر محمد صلى الله عليه وسلم وكذبوا به كف الله عنهم ما بسط عليهم من السعة، فعند ذلك قال فنحاص بن عازوراء: يد الله مغلولة، أي: محبوسة مقبوضة عن الرزق نسبوه إلى البخل، تعالى الله عن ذلك.
                “Berkata Ibnu Abbas, Ikrimah, Adh Dhahak, dan Qatadah: “Sesungguhnya Allah Ta’ala begitu lapang terhadap Yahudi sampai-sampai mereka menjadi manusia yang paling banyak hartanya dan kelompok paling makmur di antara mereka. Lalu, ketika mereka mengingkari Allah dalam urusan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mendustakannya, maka Allah Ta’ala menahan buat mereka apa-apa yang dahulu Dia lapangkan, maka saat itulah Finhash bin ‘Azura berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, yaitu dikekang dan dicabut dari rezeki, mereka menyandarkanNya dengan kebakhilan. Maha Tinggi Allah dari hal itu.” (Imam Al Baghawi, Ma’alim At Tanzil, 3/76)
                Ayat lainnya:
قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ
“ Katakanlah: "Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah..” (QS. Ali Imran (3): 73)
 Imam Ibnu Katsir menta’wil ayat ini, katanya:
أي: الأمورُ كلها تحت تصريفه، وهو المعطي المانع، يَمُنّ على من يشاء بالإيمان والعلم والتصور التام، ويضل من يشاء ويُعمي بصره وبصيرته، ويختم على سمعه وقلبه، ويجعل على بصره غشاوة، وله الحجة والحكمة

                “Yaitu semua urusan di bawah pengaturanNya. Dialah yang memberi dan menolak. Dia memberikan karunia berupa ilmu, iman, dan seluruh tindakan kepada siapa saja secara sempurna. Serta menyesatkan, membutakan penglihatannya dan mata hatinya, menutup pendengarannya dan hatinya, dan menjadikan pada pandangannya halangan, dan  Dialah yang memiliki hujjah dan hikmah.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/60)
            Dalam ayat lain, yang menyebutkan sifat Wajhullah (Wajah Allah), para Imam Ahlus Sunnah pun melakukan ta’wil:
                Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
وهكذا قوله ها هنا: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا إياه.
               
“Demikian juga, firmanNya di sini: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”, yaitu kecuali DiriNya” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)
                Begitu pula Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan, tentang makna ‘Wajah Allah’:
قال: " إنما نطعمكم لوجه الله " أي لرضائه وطلب
ثوابه، ومنه قوله صلى الله عليه وسلم: (من بنى مسجدا يبتغي به وجه لله بنى الله له مثله في الجنة).
           
“Allah Ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian, hanyalah demi wajah Allah.’ Yaitu demi ridhaNya, dan mencari pahalaNya, dari itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa membangun masjid dengan mengharap wajah Allah, maka akan Allah bangunkan baginya yang seumpama itu di surga.” (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 2/84)
Belau juga mengatakan:
 (ويبقى وجه ربك) أي ويبقى الله، فالوجه عبارة عن وجوده وذاته سبحانه، قال الشاعر: قضى على خلقه المنايا * فكل شئ سواه فاني
وهذا الذي ارتضاه المحققون من علمائنا: ابن فورك وأبو المعالي وغيرهم.
وقال ابن عباس: الوجه عبارة عنه كما قال: (ويبقى وجه ربك ذو الجلال والاكرام) وقال أبو المعالي: وأما الوجه فالمراد به عند معظم أئمتنا وجود الباري تعالى، وهو الذي ارتضاه شيخنا.

                “Dan Yang tersisa hanyalah wajah Rabbmu, yaitu yang tersisa hanyalah Allah, wajah merupakan ibarat (perumpamaan) dari wuudNya dan ZatNya yang Maha Suci. Berkata seorang penyair:
                “Telah ditetapkan atas hambaNya kematian, Segala sesuatu selainNya adalah binasa (fana).”
                Inilah yang disetujui para muhaqqiq (peneliti) dari ulama kami, seperti: Ibnu Furak, Abu Al Ma’ali, dan lainnya.
                Ibnu Abbas mengatakan: Wajah merupakan ibarat dariNya, sebagaimana frmanNya: “Dan yang tersisa hanyalah wajah Rabbmu yang memiliki keagungan dan kemuliann.” Abul Ma’ali mengatakan: “Ada pun wajah maksudnya adalah menurut imam-imam besar kami adalah wujud Allah Ta’ala, dan itulah yang disetujui oleh guru kami.” (Ibid, 17/165)
                Ayat lainnya:

 سَنَفْرُغُ لَكُمْ أَيُّهَا الثَّقَلانِ
                “Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu Hai manusia dan jin.” (QS. Ar Rahman: 31)
                Para ulama salaf pun melakukan ta’wil  atas ayat “kami akan memperhatikan” , sebab jika dipahami secara zhahir makna ‘memperhatikan’ membutuhkan alat penginderaan, dan itu mustahil bagi Allah Ta’ala. Oleh karena itu Imam Ibnu Jarir berkata tentang ayat tersebut:
وأما تأويله : فإنه وعيد من الله لعباده وتهدد
                “Ada pun ta’wilnya adalah ancaman dari Allah dan menakut-nakuti.” Begitu pula yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Adh Dhahak. (Jami’ul Bayan, 23/41-42)
                Ayat lain:
 وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
                “ ..dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al Hadid (57): 4)
                Ayat ini mesti dita’wil, sebab jika tidak, akan bertentangan dengan kalimat yang ada pada ayat itu sendiri bahwa Allah bersemayam di ‘ArysNya. Oleh karena itu Imam Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya pun yang sangat anti ta’wil, juga menakwil ayat ini.
                Ayat ini tidak berarti Allah Ta’ala secara zat ada di setiap tempat kita berada, dan tidak boleh mengartikan demikian. Kata Imam Ibnu Jarir  takwilnya adalah:
وهو شاهد لكم أيها الناس أينما كنتم يعلمكم، ويعلم أعمالكم، ومتقلبكم ومثواكم، وهو على عرشه فوق سمواته السبع
                “Dia menyaksikan kalian, wahai Manusia, dimana saja kalian berada Dia mengetahui kalian, mengetahui perbuatan kalian, lalu lalang kalian, dan di tempat tinggal kalian,dan Dia di atas ‘ArsyNya, di langit yang tujuh.” (Ibid, 23/196)
                Demikianlah. Sebenarnya masih sangat banyak ta’wil yang dilakukan para ulama terhadap ayat-ayat sifat, dalam rangka menjaga kesucian sifat-sifatNya dari penakwilan menyimpang manusia. Sikap ta’wil ini di dukung deretan para Imam kaum muslimin, seperti Imam Al Ghazali, Imam An Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Al Khathabi, Imam Fakruddin Ar Razi, Imam Al Jashash, Imam As Suyuthi, Imam Al Baqillani, Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Imam Izzuddin bin Abdusalam, Imam Abul Faraj bin Al Jauzi, Imam An Nasafi, Imam Al Bulqini, Imam Ar Rafi’i, Imam Al Baidhawi, Imam Al Amidi, Imam Al ‘Iraqi, Imam Ibnu Al ‘Arabi, Imam Al Qurthubi, Imam Al Qadhi ‘Iyadh, Imam Al Qarrafi, Imam Asy Syathibi, Imam Abu Bakar Ath Thurthusi, Imam Syahrustani, Imam Al Maziri, Imam Isfirayini, Imam Dabusi, Imam As Sarakhsi, Imam At Taftazani, Imam Al Bazdawi, Imam Ibnul Hummam, Imam Ibnu Nujaim, Imam Al Karkhi, Imam Al Kasani, Imam As Samarqandi, dan lain-lain. Mereka inilah yang biasa disebut kaum Asy ‘ariyah. (sebenarnya saya ingin menguraikan satu-persatu bukti sikap mereka, namun ini sudah cukup mewakili)
                Jika kita perhatikan, maka jumhur ulama adalah melakukan ta’wil. Namun, para ulama salaf (terdahulu), lebih sedikit melakukan ta’wil. Ada apa dibalik ini? Ini bisa terjadi, lantaran Islam dan Al Quran telah menyebar ke seluruh penjuru dunia yang penduduknya bukan berbahasa Arab. Sehingga, jika ayat-ayat dan hadits-hadits sifat ini   dibaca dan difahami secara literal (zhahiriyah), maka bisa menggelincirkan pemahaman orang awam yang tidak bercita rasa bahasa Arab. Oleh karena itu, bangkitlah para ulama untuk melindungi nash-nash tersebut, dari kemungkinan tafsiran berbahaya orang-orang ‘Ajam (non Arab).
                Dari sisi ini, maka sebenarnya antara salaf dan khalaf, memiliki tujuan yang sama dengan sikap mereka itu, yakni menjaga kesucian Al Quran. Oleh karena itu, walau kita lebih condong kepada pemahaman salaf, tidak selayaknya menjadikan polemik ini sebagai ajang saling pengkafiran sesama umat Islam. sebab, para ulama yang berselisih pun tidak sampai tingkat seperti itu.  Sebab memojokkan kaum Asy’ariyah (para penakwil) dan menuduhnya keluar dari Ahlus Sunnah, sama juga memojokkan nama-nama para Imam kaum muslimin yang telah mendapat posisi penting di hati umumnya kaum muslimin. Maka, renungkanlah!
                Wallahu A’lam

Sumber: http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/90