Kamis, 24 Juni 2010

Membersihkan Hati: Kita Termasuk Yang Mana?

Kita Termasuk yang Mana…?1
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

Diantara tanda kebahagiaan dan keberuntungan, tatkala ilmu seorang hamba bertambah, bertambah pulalah sikap tawadhu’ (rendah hati) dan kasih sayang yang dimilikinya; setiap kali bertambah amalnya, bertambah pula rasa takut dan waspada di dalam dirinya2; tatkala bertambah umurnya, berkuranglah ketamakannya terhadap dunia; tiap kali hartanya bertambah, kedermawanannya pun bertambah; setiap kali kedudukan dan martabatnya bertambah tinggi, maka bertambah pula kedekatannya dengan manusia, dirinya akan semakin memperhatikan kebutuhan mereka, dan merendahkan diri di hadapan mereka.

Diantara tanda kebinasaan seorang, tatkala ilmunya bertambah, bertambah pula kesombongan dan keangkuhannya; tiap kali amalnya bertambah, bertambahlah ‘ujub (bangga diri) dalam dirinya, semakin meremehkan orang lain, dan justru memandang baik dirinya; tatkala umurnya bertambah, ketamakannya terhadap dunia justru semakin bertambah; tiap kali hartanya bertambah, bertambah pula sifat kikir yang dimiliki; setiap kali kedudukan dan martabatnya bertambah, bertambah pula keangkuhan dan kecongkakannya.

Seluruh hal di atas merupakan cobaan dari Allah yang diperuntukkan kepada para hamba-Nya. Di antara mereka ada yang beruntung, sebagian yang lain justru celaka.
Demikian pula dengan kemuliaan, seperti kerajaan, kekuasaan, dan harta, semua adalah cobaan. Allah ta’ala berfirman,

فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ (٤٠)

“Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Rabb-ku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).”
(An NAml: 40).

Demikian pula kenikmatan, semua adalah cobaan dari-Nya sehingga akan nampak siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur (ingkar). Sebagaimana musibah juga cobaan dari-Nya, karena Dia menguji para hamba dengan berbagai nikmat dan musibah.

Allah ta’ala berfirman,

فَأَمَّا الإنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (١٥)وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (١٦)

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dirinya dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu mempersempit rizkinya, maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” (Al Fajr: 15-16).

Maksud dari ayat di atas, tidak setiap orang yang Aku lapangkan rizkinya dan Aku beri kesenangan duniawi, maka hal itu merupakan bentuk pemuliaan-Ku terhadapnya. Dan tidak setiap orang yang Aku persempit rizkinya dan Aku uji dengan kemiskinan, maka hal itu merupakan kehinaan baginya.

Waffaqaniyalahu wa iyyakum.

Gedong Kuning, Yogyakarta, 23 Rabi’uts Tsani 1431.
------------------------------------
1 Diterjemahkan dari Fawaaidul Fawaaid hal. 403-404.
2 Demikianlah sifat orang beriman, yaitu tatkala mengerjakan amal, mereka tidak lantas berbangga diri dengan amal yang telah dikerjakan. Hal ini diterangkan Allah ta’ala dalam firman-Nya di surat Al Mukminun: 60 (yang artinya), “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa). Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.”
Ketika mendengar ayat ini, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bertanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Mengapa mereka khawatir setelah beramal?), apakah mereka orang-orang yang meminum khamr dan mencuri?” Nabi pun menjawab, “Bukan, wahai anak Ash Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, meskipun demikian mereka khawatir sekiranya amalan tersebut tidak diterima oleh-Nya.” (HR. Tirmidzi: 3175).

Selasa, 22 Juni 2010

Menangis Juga Termasuk Ibadah

Ketahuilah Menangis Itu Termasuk Ibadah

oleh Saiful Islam Mubarak
Sumber: http://www.eramuslim.com/nasihat-ulama/ketahuilah-menangis-itu-termasuk-ibadah.htm

Semua praktek ibadah akan dinilai benar selama berdasarkan petunjukk Al Qur’an dan sunnah Nabi. Menangis termasuk ibadah bila dilandaskan kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi yaitu menengis yang terjadi semata-mata- krena takut kepada Allah. Al Qur’an mempertanyakan keimanan orang yang tidak pernah menangis dikala mendengar ayat-ayat AlQuran. Allah berfirman:

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ(59)وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ(60)وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ(61)فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا(62)

Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan itu?. Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkannya? Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah Dia.

Menurut ayat diatas, orang yang tidak mau menangis dengan ayat Allah dia adalah oranng yang lalai. Karena itu orang yang tidak diragukan ketakwaan dan ketaatannya kepada Allah senantiasa mudah meneteskan air mata ketika mendengar Allah berfiman. Terutama bila ayat yang dibacanya adalah yang berhubungan dengan teguran seperti ayat diatas ini. karena itu ketika para shahabat pertama kali mendengar ayat ini dibacakan mereka pun menangis.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال لما نزلت أ فمن هذا الحديث تعجبون وتضحكون ولا تبكون وأنتم سامدون بكى أصحاب الصفة حتى
جرت دموعهم على خدودهم فلما سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم حنينهم بكى معهم فبكينا ببكائه فقال صلى الله عليه وسلم لا يلج 
النار من بكى من خشية الله ولا يدخل الجنة مصر على معصية ولو لم تذنبوا لجاء الله بقوم يذنبون فيغفر لهم

Dari Abi Hurairah RA dia berkata: ketiaka turun ayat afamin hadzal haditsi…… menangislah para shahabat (ahli shuffah) hingga mengalirlah air mata mereka membasahi pipi, dan ketika Rasulullah mendengar tangisan mereka, beliaupun menangis bersama mereka, maka kamipun menangis karena (terdorong oleh) tangisannya.

Beliau bersabda: tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah dan tidak akan masuk surga orang yang terus menerus berbuat dosa. Sekiranya kamu tidak berdosa pasti Allah akan mmendatangkan orang-orang yang berdosa kemudian Dia mengampuni mereka.

Memperhatikan hadits ini jelas sekali bahwa menangis karena takut neraka adalah akhlak Rasul dan para shahabat. Dan orang-orang yang tidak mau menangis tidak berarti tidak ada yang ditangisi atau tidak pernah berdosa melainkan meeka termasuk golongan yang terus menerus berbuat dosa. Dan Allah menyediakan ampunan bukan bagi orang yang tidak berdosa, karena setiap manusia pasti berbuat dosa , akan tetapi Dia menyediakan ampunan bagi orang yang suka menangisi dosa.

Bila tidak mau menangisi dosa berarti sama dengan memeliharanya. Dan orang yang memelihara dosa tentu akan dijauhkan dari surga. Karena Allah sediakan surga bagi orang yang bertaubat. Allah Swt telah memberi kepada setiap manusia potensi untuk menangis dan tertawa. Keduanya adalah amanat yang mesti dimanfaatkan untuk taqarrub kepadaNya.

Dan kebanyakan manusia lebih banyak tertawa dibanding dengan menangis. Bahkan mereka berusaha untuk membuat-buat ketawa. Dalam realitas kehidupan telah ditemukan bahwa sebagia manusia ada yang mampu membuata orang lain tertawa dan ada pula yang mampu membuat orang lain mnangis. Sekiranya menangis dan tertawa ini kita lakukan untuk kepentiangan hari akhirat, pasti kita akan banyak menangis dan jarang tertawa selama didunia ini.

Dan sekiranya hal tidak dilakukan, maka tertawa didunia tetap hanya sebentar sebab hidup di dunia tidak lama lagi akan berakhir. Dan orang yang tidak mau menangis di dunia akan menangis di akhirat. Karena itu Allah mengingatkan dengan firman-Nya:

فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلًا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ(2)

Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. Ada seorang hamba yang berkata: saya tidak menenagis karena saya bukan orang yang emosional melainkan saya adalah orang yang banyak berfikir.

Penyataan ini bila ditinjau dengan kaca mata Islam sangat perlu diperbaiki, karena berlawanan dengan kandungan hadits Rasul yang menegaskan bahwa semakin luas wawasan seseorang dan mendalam ilmunya pasti akan semakin sering menangis dan jarang tertawa. Mari kita perhatikan sabda Rasulullah saw:

عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لو تعلمون ما أعلم لبكيتم كثيرا ولضحكتم قليلا ولو علمتم ما أعلم لسجد أحدكم حتى ينقطع صلبه ولصرخ حتى ينقطع صوته ابكوا إلى الله فإن لم تستطيعوا أن تبكوا فتباكوا

Dari Abdillah bin Amr, ia berkata: Rasulullah bersabda: sekiranya kamu mengetahui apa yang aku ketahui pasti kamu banyak menangis dan jarang tertawa, sekiranya kamu mengetahui apa yang kuketahui pasta ada diantara kamu yang bersujud hingga pataah tulang rusuknya, dan pasti berteriak mengais hingga habis suaranya. Menangislah kamu kepada Allah, apabila kamu tidak bisa menangis, maka usahakan sampai mampu.

Menurut hadits ini orang yang berilmu akan lebih banyak dan lebih mudah untuk menangis, karena dia mengetahui siapa dirinya dan dimana dia berada. Dan sebaliknya bila seseorang banyak tertawa dan jarang menanggis berarti dia kurang mengetahui hakikat dirinya dihadapan Allah, sehingga dia selalu merasa tenang tanpa ada rasa kehawatiran kalau dirinya dekat dengan kemurkaan Allah, seakan-akan dia adalah orang yang sudah dijamin akan mendapat surga dan selamat serta jauh dari bahaya neraka.

Padahal tidak ada seorangpun yang mengetahui masa depan yang akan dihadapinya esok hari apalagi hari-harri sesudah mati. Karena itu, semakin mendalam dan luas ilmu seseorang tentang Islam maka akan semakin sering menangis. Bila kita susah manangisi dosa berarti kita sedang berada dalam kegelapan. Bila kita berada dalam kegelapan, bukan saja dosa kecil yang tidak terlihat akan tetapi dosa besar pun susah diketahui. Ya Allah ampunilah dosa kami dan memasukkanlah kami kedalam golongan yang tercantum dalam firmanMu:

إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا(107)وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا(108)وَيَخِرُّونَ 
لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا(109

Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebellumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyugkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: Maha suci tuhuan kami pasti dipenuhi dan mereka meniarap atas dahinya serta menangis, dan (Al Qur’an) menambah khusyu’ mereka.

Menangis yang bernialai ibadah adalah menangis yang melibatkan semua unsur manusia yaitu akal fikiran yang diisi dengan ilmu; qalbu yang diisi dengan keimanan; dan seluruh anggota badan termasuk kepala dengan sujudnya; lisan dengan membaca istighfar, tasbih, tahmid dan ungkapan dzikir lainnya. Dan tidak kalah pentingnya bahwa tetesan air mata yang membanjiri wajah hingga membasahi tempat sujud akan menjadi saksi nanti di akhirat .

Ada seseorang yang merasa cukup dengan menangis dalam hati saja dan menganggap bahwa menangis dengan meneteskan air mata tidak lagi diperlukan, dengan alasan bahwa sikap cengeng itu tidaklah baik. Sikap seperti ini tidak keliru bila diterapkan pada situasi sedang menghadapi musuh Allah yang menuntut semua hamba untuk berjiwa besar dan menjaga wibawa kaum muslimin demi terpeliharanya kemuliaan Islam .
Akan tetapi lain halnya ketika kita sedang berhadapan dengan Yang Mulia dan Maha Perkasa. Semua hamba harus menunjukkan kerendahan dirinya dengan penuh kesadaran sebagai hamba yang hina tak berdaya yang menyadari akan banyaknya dosa dan sering lalai akan perintah yang turun dari Dzat Yang Maha Bijaksana, dan pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa kita tidak lama lagi akan disidang didepan Pengadilan Yang Mahatinggi.

Untuk meningkatkan kesadaran ini sangat diperlukan untuk selalu ingat akan kehidupan para nabi dan shalihin. Karena mereka adalah orang pinter dan cerdas dalam memahami kehidupan ummat, dan mereka juga adalah pejuang yang tidak pernah mengenal takut kepada siapapun. Namun demikian, mereka adalah sangat cengeng ketika sedang merintih kepada Yang Mahaadil dan menghadap kepada Yang Mahakuasa. Demikian Allah menjelaskan dalam firman-Nya:

إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا(58)

Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Yang Maha Pengasih mereka meniarap sujud dan menangis Ayat diatas menjelaskan sifat-sifat para Nabi dan para pengikutnya dengan kata sujjadan (ahli sujud) dan bukiyyan (ahli menangis).

Kata bukiyyan adalah shighah mubalaghah (bentuk kata yang mempunyai makna sangat) dari kata bakiina yang merupakan kata sifat bagi orang-orang yang suka menangis. Hal ini menggambarkan bahwa tangisan tersebut melebihi dari tangisan yang biasa terjadi pada masayarakat umum yang disebabkan urusan dunia. Makna menangis yang dimaksud dalam ayat akan lebih jelas lagi bila kita perhatikan hadits Rasul SAW dibawah ini.

Menangis Menurut Sunnah Rasul SAW

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : عيـنان لا تمسـهما النار عين بكت من خشـــية وعين باتت تحرس في سبيل الله

Rasulullah SAW bersabda: Dua mata yang tidak akan terkena api neraka yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga dijalan Allah

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ثلاثة أعين لا تحرقهم النار أبدا عين بكت من خشية الله وعيين سهرت بكتاب الله وعين حرست في سبيل الله عز وجل

Rasulullah SAW bersabda: Tiga mata yang tidak akan terbakar api neraka untuk selamanya: mata yang menangis karena takut kepada Allah, mata yang berjaga dimalam hari karena membaca kitab Allah, dan mata berjaga-jaga membela agama Allah.

Wallahu'alam.

Kamis, 10 Juni 2010

Dauroh Mabit At-Tauhid ARH UI 25 - 26 Juni 2010

MASJID PUSAT PENDIDIKAN UMAT

Penulis:Dr. Attabiq Luthfi, MA

"Orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (At-Taubah: 18)

Terdapat hanya dua ayat dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang pemberdayaan masjid yang menggunakan redaksi ’يعمر ’, keduanya berbicara secara terbalik, yaitu surat At-Taubah: 17 dan surat At-Taubah: 18 yang menjadi ayat kunci pada tulisan ini. Ayat 17 berbicara tentang penafian Allah terhadap kemungkinan orang-orang musyrik melakukan pemberdayaan masjid, dan ayat ke 18 berbicara tentang mereka yang layak dan berhak melakukan itu. Sehingga ayat ke 18 ini dapat difahami dari dua sudut pandang yang berbeda tentang pelaku pemberdayaan masjid.

Pertama, yang benar-benar memberdayakan masjid dalam arti memakmurkannya hanyalah orang-orang yang beirman kepada Allah dan hari kemudian. Karena secara korelatif ayat sebelumnya berbicara tentang mereka yang tidak layak dan tidak berhak memakmurkan masjid karena kesyirikan yang melekat di dalam dada mereka.

Kedua, jaminan Allah bagi para pelaku pemberdayaan masjid bahwa mereka adalah orang-orang yang akan senantiasa dijaga keimanannya oleh Allah swt.

Pemahaman kedua terhadap ayat ini dapat ditemukan dalam sebuah hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Hakim bahwa jaminan eksistensi dan keberlangsungan iman seseorang ada pada kekerapannya menghadiri aktivitas lembaga masjid (baca: memakmurkannya). ”Jika kalian melihat seseorang kerap hadir di dalam masjid maka persaksikanlah bahwa ia seorang yang beriman”. Lantas Rasulullah membaca surat At-Taubah: 18. Maka sangat jelas seperti yang dikemukakan oleh Imam Asy-Syaukani bahwa melalui ayat ini Allah hendak menunjukkan kelompok yang berhak dan mampu melakukan pemberdayaan masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan, pendidikan dan sosial masyarakat muslim.

Kata ’masjid’ sendiri secara harfiah menurut makna ahasa Arab adalah bentuk isim makan yang berarti “tempat untuk bersujud”. Namun secara terminologis, masjid dapat dimaknai sebagai tempat khusus untuk melakukan berbagai aktivitas yang bernilai ibadah dalam arti yang luas. Salah satu bentuk aktivitas ibadah tersebut adalah aktivitas pengajaran dan pendidikan. Melalui lembaga nonformal inilah Rasulullah saw melakukan proses pembinaan moral, mental dan spiritual umat, sehingga masjid pada saat itu berfungsi strategis sebagai lembaga pendidikan yang efektif untuk menghimpun potensi ummat dari berbagai latar belakang dan unsurnya.

Terkait dengan ini, berdasarkan pembacaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dapat dirumuskan dua klasifikasi lembaga pendidikan yang disebut secara implisit oleh Allah swt, yaitu institusi keluarga yang biasa disebut dengan istilah lembaga informal dan institusi masjid yang mewakili lembaga pendidikan nonformal. Sedangkan lembaga pendidikan formal yang berkembang sangat pesat sekarang ini dapat disarikan dari surat At-Taubah: 122 yang menyebut komunitas kecil ‘tha’ifah’ yang melakukan pengkajian ilmu tafaqquh fid din secara intens. Dapat dikatakan inilah peserta didik formal yang secara spesifik memiliki konsekuensi dan tanggung jawab ilmiyah dan moral untuk menyampaikan kembali pengajaran yang diterimanya kepada masyarakat yang tidak memenuhi syarat atau kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal:

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang beriman itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka untuk memperdalam pengetahuan agama supaya dapat memberi pengajaran dan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, mudah-mudahan mereka dapat memelihara dirinya”.

Lembaga pendidikan pertama dan utama atau pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang terbatas yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.. Pentingnya keluarga sebagai lembaga pendidikan primer diisyaratkan oleh Allah dalam firmanNya: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (At-Tahrim: 6). Ayat lain yang mengisyaratkan bentuk pendidikan informal adalah perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk memberi peringatan (pengajaran) secara prioritas kepada kaum kerabatnya: ”Dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang dekat”. (Asy-Syu’ara’: 214).

Kedua ayat ini jelas memerintahkan agar objek kepeduliaan keluarga muslim adalah tentang keberagamaan keluarga mereka, tentang program yang mendekatkan mereka dengan pintu-pintu surga dan menjauhkan mereka dari daya tarik neraka. Inilah keluarga ideal dan sukses dalam kaca mata surat At-Tahrim: 6 karena memang hanya keluarga yang dibangun di atas pondasi iman yang memiliki perhatian besar terhadap aspek seperti yang tersirat dalam khitab ayat ini ”Hai orang-orang yang beriman”. Tentu, untuk menghadirkan pendidikan Islam di tengah keluarga diperlukan manajemen hak dan kewajiban yang sinergis dan saling melengkapi antara suami dan isteri atau ayah dan ibu selaku pemimpin dalam institusi pendidikan ini sehingga akan lahir keluarga-keluarga seperti yang senantiasa dipohonkan dalam doa sehari-hari orang yang beriman: ”Dan orang-orang yang senantiasa berdoa: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan yang menyenangkan hati kami. Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”. (Al-Furqan: 74)

Lembaga pendidikan ketiga yang tidak kalah tingkat urgensinya adalah lembaga pendidikan nonformal yang berlangsung di dalam masjid seperti yang difirmankan Allah dalam salah satu ayat-Nya:

”Orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (At-Taubah: 18)

Menurut Abdurrahman An-Nahlawi masjid sebagai pusat pendidikan nonformal memiliki tingkat implikasi yang cukup besar, di antaranya:

Pertama, mendidik masyarakat agar memiliki semangat pengabdian dalam seluruh aktivitasnya kepada Allah swt.

Kedua, menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai insan pribadi, sosial dan warga masyarakat dan negara.

Ketiga, memberikan rasa ketentraman, kekuatan, dan kemakmuran serta mengembangkan potensi-potensi ruhiah manusia melalui pendidikan kesabaran, keikhlasan, optimisme, dan akhlak luhur lainnya. Sehingga alumni lembaga masjid memiliki kualifikasi intelektual, emosional dan spritual yang baik sebagai basis akhlak masyarakat. Untuk itu, diperlukan kreatifitas dan inovasi masyarakat untuk memberdayakan masjid sebagai lembaga pendidikan kemasyarakatan sehingga tujuan pendidikan untuk mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertakwa dalam sebuah negeri yang tayyibatun wa rabbun ghafur dapat diraih sesuai dengan yang diharapkan.

Pada tataran aplikasi pemberdayaan masjid, memakmurkan masjid menurut Imam Ar-Razi dapat dilakukan dengan dua aktivitas secara sinergis dan terpadu, yaitu dengan memberikan kenyamanan secara fisik untuk beribadah di dalamnya dan memperbanyak aktivitas kebaikan di dalamnya. Senada dengan pemahaman ini, Abu Su’ud menegaskan bahwa aktivitas memakmurkan masjid harus difahami dalam arti yang luas. Membangun, membersihkan, merawat dan memelihara keindahan dan kebaikan masjid termasuk dalam kategori memakmurkannya. Juga melakukan aktivitas kebaikan yang dibenarkan syariat merupakan aktivitas memakmurkan masjid yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. Di sini peran setiap muslim dalam ’memberdayakan masjid’ sangat dinanti untuk kebaikan umat secara kolektif, karena demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membangun dan memfungsikan masjid secara komprehensif, integral dan menyatu dengan umat. Allahu a’lam

Sumber: http://www.dakwatuna.com/wap/index-wap2.php?p=5019

Peresmian Masjid At-Tauhid ARH UI


Masjid kampus memiliki fungsi yang sangat strategis. Selain bisa dimanfaatkan sebagai pusat kegiatan keislaman mahasiswa, masjid kampus juga dapat sekaligus membentuk pribadi intelektual yang jernih. Hal tersebut dikatakan oleh Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Prof. Dr. H. Nassarudin Umar, M.A, ketika meresmikan Masjid Attauhid Arief Rahman Hakim (ARH) di Kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba Jakarta, Selasa (29/12/09). Acara peresmian masjid ini ditandai dengan penandatanganan prasasti yang dilakukan Rektor UI dan Menteri Agama RI.

Peresmian Masjid At-Tauhid ARH dihadiri oleh Syeikh Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Muthliq selaku Menteri penasehat Dewan Kerajaan, Anggota Majelis Ulama Besar dan Anggota Komisi fatwa, Abdurrahman Dr. Abdullah bin Muhammad Amien Al-Khayat selaku Duta Besar Kerajaan Daudi Arabia untuk Indonesia, Yousif R. Alsharan selaku Duta Besar Emirat Arab untuk Indonesia, Syeikh Ibrahim bin sulaiman An-Nughaimshi selaku Atase Agama Islam Kedutaan besar Kerajaan Saudi Arabia untuk Indonesia, Syeikh Dr.Abdurrahim bin Muhammad As-Sudais selaku Imam Khatib Masjidil Haram & Guru Besar Syariah Universitas Ummul Qurra Mekkah, Syeikh Dr. Abdul Muchsin Al Khosim selaku Imam Masji Nabawi serta Duta besar Sudan, Duta Besar Qatar, Duta Besar Afghan, Duta Besar Arab Saudi dan Duta Besar Nigeria.



Syeikh Dr.Abdurrahim bin Muhammad As-Sudais & Amir Abdul Azis bin Suud bin Fahd

Pemberian Kenang-kenangan dari Rektor UI kepada Amir Abdul Azis bin Suud bin Fahd

Syeikh Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Muthliq mengungkapkan rasa senang dan sukacitanya atas peresmian masjid tersebut. Ia berharap Islam di Indonesia akan semakin maju. Menurutnya, tidak saja di negara – negara muslim, pihaknya juga telah membantu pembangunan masjid-masjid di negara-negara Barat.

Dalam sambutannya, Rektor UI Prof.Dr.der.Soz Gumilar Rusliwa Somantri mengungkapkan, Masjid Attauhid Arief Rahman Hakim atau lebih dikenal Masjid ARH UI, awalnya diresmikan pada 16 Agustus 1969 dan sejak tahun 2004 Masjid ARH UI dikembangkan menjadi masjid yang lebih besar dan megah disesuaikan dengan estetika modern dengan tetap mempertahankan nilai sejarahnya. Pemberian nama Arief Rahman Hakim ini merupakan bentuk penghormatan kepada Arief Rahman Hakim yang tewas ketika melakukan unjuk rasa di depan Istana Kepresidenan."Suksesnya renovasi dan pengembangan Masjid ARH UI tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penyelesaian pengembangan Masjid ARH UI di Kampus Salemba telah menelan biaya sekitar Rp 16 miliar. 13 Miliar berasal dari Atase Agama Islam Kedubes Arab Saudi, Rp1 Miliar berasal dari Pemda DKI, Rp1 Miliar dari Rektorat UI dan Rp.1 Miliar berasal dari Alumni dan jamaah" ujarnya.(Vra)

Sumber: http://www.ui.ac.id/id/news/archive/4113

Mukadimah

Assalamu'alaikum Warohmatullah Wabarokatuh...

Alhamdulillah, blog yang kita nantikan telah hadir di tengah kita. Dengan seiringnya perkembangan zaman, khususnya teknologi informasi, maka sudah sepatutnya Masjid, sebagai lambang kebangkitan Islam pun memanfaatkan kemajuan itu.

Sudah banyak situs-situs yang dibuat oleh Masjid tentang kajian yang ada di Masjid tersebut. Akan tetapi, kadangkala hanya berisi info kajian saja. Kami dari Masjid At-Tauhid ARH UI Salemba, ingin menjadi wadah ilmu Islam dan juga ilmu kontemporer lainnya sehingga bisa memenuhi kebutuhan masyarakat..

Semoga Allah memuliakan kita dengan kemuliaan Islam.

Wassalamualaikum Warohamtullah wabarokatuh..
DKM At-Tauhid ARH UI Salemba